"Bebas Aktif harus melampaui kesantunan; dalam dunia yang tersandera politik hegemoni, hanya nalar dan kapasitas deterensi yang bisa menjamin ketertiban fungsional"

Dengan melewatkan KTT G7 di Kanada dan memilih berdiri di podium St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 bersama Putin, Presiden Prabowo sesungguhnya sedang berbicara bahasa kedaulatan. Pesan intrinsiknya solid: Indonesia tak lagi bermain aman. Bebas Aktif kini bicara daya, bukan sekadar netralitas.

Tercatat lima kunjungan tingkat tinggi Jakarta–Moskow terlaksana di era Presiden Prabowo, dengan tiga sektor menjadi prioritas diplomasi kunci: energi, pertahanan, dan pangan. Ini intensifikasi bilateral paling konkret sejak era Soekarno–Khrushchev—menandai babak baru kemitraan strategis Indo-Russo.

Namun, langkah teknokratik tanpa fondasi politik yang tegas hanya akan jadi angin lalu. Pertanyaan lebih mendesaknya adalah: mampukah ko-dependensi ekonomi ini dirajut sebagai medium konsolidasi visi geopolitik? Tanpanya, progres Indo-Russo mudah dibabat Barat—seperti preseden jurang retorika-aksi keduanya yang terus berulang.

Dalam melampaui politik hegemoni, nalar harus menundukkan kesantunan—dimulai dengan memecah ambiguitas eksekusi ber-Bebas Aktif yang terus posisikan “semua adalah teman”. Dalam politik kekuasaan, netralitas tanpa kapasitas deterensi bukanlah kebijaksanaan, melainkan kekosongan kuasa.

Di tengah badai fragmentasi global, Presiden Prabowo harus tegas memproklamirkan kedaulatannya: tegas memilih kawan, rasional menetapkan lawan. Sebab diam-netral tak selalu berarti damai. Ada diam yang menenangkan, ada pula yang mencekam—seperti udara sebelum badai.

Pesan Hatta masih relevan

Sebagai bangsa berkultur Timur, Indonesia tak pernah benar-benar berani melampaui kultus moralitas dan etika kesantunan yang ia ciptakan sendiri. Citra adem-ayem non-blok begitu mengakar ke bawah, tapi tak pernah tumbuh ke atas—hingga melupakan arah strategis nasional bahwa ketertiban sejatinya dibangun untuk melancarkan ambisi kepemimpinan global.

Selaras dengan teori realisme, Hatta percaya ber-Bebas Aktif menuntut agresivitas paralel: ke dalam dan luar negeri. Kedaulatan hanya lahir dari keseimbangan resiprokal antara kekokohan institusi domestik dan diplomasi yang terkoordinasi—bertumpu pada kekuatan material, bukan retorika normatif atau bisnis semata.

Sebab itu, Bebas Aktif bukanlah tameng etis, tapi alat kalkulatif untuk membangun posisi tawar yang mandiri. Bagi Hatta, kesetaraan kuasa adalah prasyarat bagi kemitraan yang lebih fungsional. Dalam dunia yang didominasi logika anti-kompetitior, yang utama bukan identitas mitra, tapi apakah mereka membawa visi berkoeksistensi dan perbantuan nyata dalam membangun infrastruktur kuasa dalam wujud ketahanan nasional.

Hingga kini, stabilitas semu dari ekosistem Barat gagal melahirkan kekuasaan nyata bagi Indonesia—bahkan menundanya. Sejak revolusi industri, Barat melihat instrumen hegemoni riil (harta dan kuasa) hanya dua: migas dan alutsista. Dua sektor ini tak pernah dilepas begitu saja—meski perbandingan volume dagang Indo-Russo (~1%) vs Indo-AS (~5%) tak jauh beda, tapi akses pengembangan instrumen kuasa di Indonesia tetap eksklusif untuk AS—seperti kasus gagalnya imbal dagang komoditas-pesawat tempur Sukhoi SU-35 akibat tekanan sanksi AS (2017–2020).

Batalnya proyek ini bukan soal untung-rugi dagang, tapi cermin dari ketidaksiapan sistemik kita membangun ruang strategis yang otonom. Integrasi tak cukup dengan niat baik—ia butuh proteksi politik, konsolidasi domestik, dan keberanian diplomatik dalam satu desain kuasa.

Dalam konstruksi logika Hatta, yang menjual kedaulatan bukanlah keberpihakan itu sendiri, melainkan kegagalan kita mengkapitalisasi akses itulah yang membuka celah asimetri kontrol. Meski integrasi dengan Rusia menyimpan potensi besar—dalam diversifikasi pasar dan pembangunan kapabilitas deterensi di tiga sektor utama: energi, pertahanan, dan pangan—pendekatannya tak bisa semata-mata ekonomistik.

Ia memerlukan keberanian politik, kesepahaman jangka panjang, serta unifikasi arah strategis lintas institusi. Tanpa itu, integrasi hanya akan mempercepat retaliasi dari Barat tanpa kesiapan struktur kita untuk menghadapinya. Berteman dengan semua justru berarti tak berpihak pada siapa pun—Indonesia tak bisa lagi setengah hati dalam menata porosnya.

Mengimajinasikan kekuasaan

Kita sepakat perlu bergeser ke Timur—tapi pertanyaan berikutnya: bagaimana mengantisipasi retaliasi Barat yang hampir pasti itu, atau bahkan keluar dari logika dikotomis adidaya? Jawabannya simple tapi rumit: perkuat internal!

Pertama, kita mesti sadari ASEAN adalah primadona global—siapapun butuh akses. Namun, tak semua kemitraan adalah potensi; ada juga bahaya latennya. Disinilah tugas utama negara: menyaring resiko dan mengimajinasikan trajektori kekuasaan.

Selama ini logika pembangunan strategis kita terbalik: bisnis asing diberi karpet merah dulu, baru dipikirkan nasionalisasinya saat sudah terbukti cuan. Mentalitas mau terima jadi ini berbahaya—bukan hanya karena absennya alih teknologi, tapi juga karena membuka ruang intervensi saat dependensi mengakar.

Kasus Blok Rokan, Riau jadi pelajaran: Chevron-Texaco (AS) kuasai produksi migas nasional hampir 100 tahun (puncak produksi hampir 1 Juta barel per hari), tapi saat dinasionalisasi pada 2021 oleh pemerintah menjadi Pertamina Hulu Rokan (PHR), mereka enggan serahkan teknologi EOR—Enhanced Oil Recovery (EOR) merujuk pada metode untuk meningkatkan produksi minyak dari sumur yang sudah berproduksi, setelah metode produksi primer dan sekunder tidak lagi efektif—karena dianggap hak intelektual yang tak tercakup dalam skema kontrak cost recovery. Padahal skema reimburse ekplorasi migas ini semestinya membuka ruang alih kapabilitas sejak awal.

Pola serupa terulang di era Jokowi: hanya ganti tuan dari AS ke Tiongkok, tanpa lompatan daya saing. Kini, Presiden Prabowo mesti cermat membalik logika ini: pastikan investasi dari Moskow tunduk pada prinsip Made in Indonesia, dan kedaulatan dijaga sejak hulu—bukan setelah pasar dikuasai.

Setidaknya dari kacamata Presiden Prabowo, kedekatan Indo-Russo dapat didesain ke arah modernisasi alutsista dan ketahanan energi dalam upayanya membendung agresivitas Beijing, terutama di Laut China Selatan atau pakta hilirisasi mineral kritis. Dengan kata lain, melabeli integrasi itu sebagai alat anti-dominasi pasar, bukan anti Barat.

Di sisi lain, Indonesia memahami pivot Kremlin ke ASEAN adalah upayanya keluar dari orbit Tiongkok dimana dependensi ekonominya pasca perang Ukraina mulai mengancam kedaulatan—saat akses lainnya terblokir Barat, praktis hanya ASEAN yang bisa cenderung netral berpragmatisme menjadi pintu diversifikasi. Opsi itu diamini juga oleh Washington: betul ekspansi Moskow berbahaya, tapi ia tahu kegagalannya di ASEAN malah justru membuat Sino-Russo kian solid sebagai entitas kuasa. Bagi Trump, China adalah lawan prioritas, sehingga berkoesistensi dengan Rusia di ASEAN masih ‘acceptable’, setidaknya untuk menunda konfrontasi mutlak bersamaan.

Ini adalah strategi deterensi terselubung Indonesia: arena kompetisi multipolar difasilitasi untuk memaksa ruang berkoeksistensi dan mencegah retaliasi pihak manapun. Namun, ini hanya mungkin jika transisi dikelola dengan kedewasaan strategis: menghormati komitmen lama, menghindari jebakan pakta militer, dan fokus membangun kapabilitas dalam negeri.

Bebas Aktif di era Presiden Prabowo mesti dimaknai ulang sebagai strategi kuasa berbasis kapabilitas—bukan lagi diplomasi kesantunan. Sebab dalam dunia yang digerakkan logika kekuatan, hanya negara yang siaplah yang bisa benar-benar merdeka.

Russia

Eastern Card of President Prabowo: Reformulating Bebas Aktif

Analysis Center for BRICS+ and ASEAN